“Computational Thinking” Menyongsong PISA 2021

Jakarta – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Awaluddin Tjalla pada acara Grow with Google pada 18 Februari lalu menyatakan bahwa computational thinking sebagai salah satu kompetensi baru yang akan masuk dalam sistem pembelajaran anak Indonesia. Hal yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah upaya pemerintah mempersiapkan generasi muda yang melek literasi digital. Apa sebenarnya computational thinking itu?
Istilah computational thinking diperkenalkan oleh Seymour Papert di awal dekade 80-an. Istilah ini mulai menarik minat para akademisi ketika Jeanette Wing menyebutnya sebagai salah satu kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh seseorang, selain kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Computational thinking disebut menjadi kemampuan yang layak menjadi “C kelima” dalam 4 C’s 21st Century Skills.

Dalam ranah spesifikasi bidang akademik, computational thinking masuk dalam pembahasan ilmu komputer (computer science). Computational thinking didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat menyajikan suatu masalah dan solusi masalah tersebut dalam suatu pernyataan algoritmis yang dapat dieksekusi oleh komputer. Secara teknis computational thinking melibatkan empat langkah: dekomposisi masalah, menemukan pola, abstraksi, dan penyusunan algoritma.

Perkembangan teknologi dan penggunaan komputer yang begitu pesat membuat banyak negara menyadari pentingnya computational thinking dalam pendidikan. Negara-negara yang telah mengintegrasikan computational thinking dalam kurikulum antara lain Inggris, Amerika Serikat, Jepang, China, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan sebagian besar anggota Uni Eropa.

Computational Thinking di Indonesia

Computational thinking di Indonesia tak bisa dilepaskan dari mata pelajaran Teknik Informatika dan Komputer (TIK untuk SMP dan SMA) dan Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi (KKPI untuk SMK) yang diwajibkan pada kurikulum 2006. Sayangnya implementasi Kurikulum 2013 menghapuskan keberadaan mata pelajaran TIK dan KKPI sebagai mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah.

Penyempurnaan Kurikulum 2013 di era Muhadjir Effendy memberikan angin segar bagi pihak-pihak yang menginginkan TIK dan KKPI masuk dalam kurikulum. Kemendikbud mengeluarkan Permendikbud Nomor 35, 36, dan 37 Tahun 2018 yang menyebut informatika sebagai mata pelajaran pilihan di tingkat SMP dan SMA dan mulai diajarkan pada tahun ajaran 2019/2020. Di Lampiran Permendikbud Nomor 37 inilah, secara resmi dimuat istilah computational thinking sebagai salah satu Kompetensi Dasar yang dipelajari dalam mata pelajaran informatika.

Di luar pendidikan formal, usaha untuk memperkenalkan computational thinking di Indonesia dilakukan oleh beberapa pihak, antara lain Google yang mengadakan berbagai macam acara dan training tentang computational thinking. Pihak lain yang bisa disebutkan adalah Bebras Indonesia dan Tim Olimpiade Komputer Indonesia (TOKI) yang sejak 2016 mengadakan Bebras Challenge, sebuah kompetisi dalam aspek pemecahan masalah menggunakan computational thinking.

Computational Thinking dan PISA

Dalam penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) terakhir (2018) Indonesia lagi-lagi mendapatkan hasil yang tidak menggembirakan dengan meraih rata-rata skor berturut-turut 371, 379, dan 396 dalam membaca, matematika, dan sains, yang masih jauh dari rata-rata perolehan seluruh negara peserta. Hasil ini memicu reaksi dari berbagai kalangan termasuk Mendikbud Nadiem Makarim yang menyatakan akan menggunakan hasil PISA sebagai salah satu bahan evaluasi kualitas pendidikan di Indonesia.

Hal yang perlu diperhatikan oleh pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia adalah penyelenggaraan PISA selanjutnya pada 2021. Yang menarik adalah PISA 2021 akan menjadi PISA pertama yang mengevaluasi kemampuan computational thinking siswa-siswa dari negara pesertanya dengan mengintegrasikan computational thinking dalam sub-pengukuran bidang matematika. Jika pemerintah ingin agar skor siswa Indonesia meningkat di PISA selanjutnya, pemerintah harus waspada terhadap perubahan framework PISA tersebut dengan cara memberikan perhatian khusus pada aspek computational thinking siswa.

Potensi Integrasi

Computational thinking adalah sebuah thinking skill. Mengajarkan thinking skill menurut Kathleen Cotton dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, menyediakan kelas dan aktivitas tertentu yang memang khusus membahas thinking skill yang diajarkan. Kedua, mengintegrasikan thinking skill pada pelajaran-pelajaran yang sudah ada. Dalam kebijakan sebelumnya, dengan meletakkan informatika sebagai mata pelajaran pilihan di SMP dan SMA, pemerintah tampaknya memilih cara pertama untuk mengajarkan computational thinking pada siswa.

Melihat pernyataan Awaluddin Tjalla, pemerintah tampaknya mulai mempertimbangkan potensi integrasi computational thinking dalam mata pelajaran-mata pelajaran wajib. Beberapa riset terbaru memang menunjukkan bahwa computational thinking bahkan dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang menurut saya secara epistemologis dapat dikatakan “berjarak” dengan ilmu komputer, seperti bahasa dan seni.

Namun menurut hemat saya, mata pelajaran yang paling potensial berintegrasi dengan computational thinking adalah matematika. Matematika dan ilmu komputer, sebagai induk computational thinking, memiliki hubungan epistemik yang sangat dekat. Kedekatan epistemik ini, yang dipadukan dengan predikat matematika sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, membuat integrasi computational thinking dalam pembelajaran matematika sangat mungkin dilakukan. Apalagi jika mengingat bahwa dalam PISA 2021 pengukuran aspek computational thinking masuk dalam bidang asesmen matematika.

Mengintegrasikan computational thinking dalam mapel matematika akan memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan skor dan peringkatnya dalam PISA 2021. Namun bagaimanapun, kesiapan siswa menghadapi PISA 2021 hanyalah sebuah tujuan jangka pendek. Dalam perspektif yang lebih luas, upaya membekali generasi muda Indonesia dengan kompetensi dan skill yang relevan dengan kemajuan zaman bertujuan untuk menyiapkan mereka menjadi pribadi yang mumpuni untuk bergaul dan bersaing di dunia global.

Muhammad Zuhair Zahid dosen Jurusan Matematika FMIPA UNNES, pegiat di Centre for Research in Mathematics, Technology and Education (detik.com)

Baca Juga !
Tinggalkan komentar