Inkonsistensi, Celah Hukum Dan Upaya Pembaharuan Hukum Narkotika Kita

Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H.
Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H.
Penulis merupakan Kandidat Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

 

DINAMIKASULTRA.COM,KENDARI-Beberapa hari yang lalu publik dihebohkan dengan ditangkapnya salah satu artis Indonesia terkait dengan kepemilikan barang ‘haram’ narkotika. Kasus yang bermula dari penangkapan ZN supir Nia Ramadhani (NR) dan Ardi Bakrie(AB) ataskepemilikan satu klip narkotika jenis sabu dan dari hasil interogasi diakui oleh ZN bahwa barang ‘haram’ tersebut adalah milikNR sang majikan. Setelah dilakukan penggeledahan oleh pihak kepolisian di kediaman NR ditemukan alat penghisap sabu milik NR dan berdasarkan pengakuan NR bahwa barang ‘haram’ tersebut digunakan juga bersama suaminya yakni AB. Dalam perjalanan kasusnya, dilakukan tes urine terhadap ketiganya hasilnya positif mengandung metamfetamin atau sabu. Berdasarkan hal tersebut ZN, NR dan AB kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus narkotika, dan berdasarkan keterangan Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi kasus ketiganya dijerat dengan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika).

 

Hal Menarik

Keterlibatan artis dalam kasus narkotika bukanlah hal yang baru. Sebab, dalam kasus-kasus sebelumnya beberapa tokoh publik figur terjerat dalam kasus kepemilikan barang haram ini. Sebelumnya ada Ridho Roma, Reza Artamevia, Dwi Sasono, Jefri Nichol dan masih banyak lagi. Orang yang terjerat dalam kasus narkotika tidak memandang latar belakang, siapa saja bisa terjerat dalam kubangan kasus ini, kaya maupun miskin, tua maupun muda. Semua bisa saja terjerat dalam kepemilikian atau penyalahgunaan barang ‘haram’ tersebut.

Ada hal yang menarik dari kasus ini. Bukanlah soal siapa yang terjerat didalamnya, melainkan penggunaan pasal terhadap ketiganya. Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa dalam kasus NR, AB dan ZN pasal yang digunakan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan ketiganya atas kepemilikan barang ‘haram’ narkotika itu adalah pasal tunggal yakni Pasal 127 UU Narkotika yang pada pokoknya menyatakan bahwa “setiap penyalahguna narkotika golongan I, II dan III bagi diri sendiri dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun (untuk golongan I), paling lama 2 tahun (untuk golongan II) dan paling lama 1 tahun (untuk golongan III). Penggunaan Pasal 127 UU Narkotika dalam kasus ini oleh kepolisian memiliki beberapa konsekuensi yuridis menurut penulis, yakni:

Pertama, penggunaan Pasal 127 UU Narkotika menegaskan bahwa NR, AB dan ZN dikualifikasikan sebagai pengguna. Mencermati rumusan Pasal 127 dengan menyebutkan setiap penyalah guna dengan kepemilikan narkotika golongan tertentu memiliki konsekuensi dalam hal ancaman pidananya. Sedangkan yang dimaksud dengan penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum (vide Pasal 1 angka 15 UU Narkotika).

Kedua, dalam kasus NR, AB dan ZN ditemukan satu klip narkotika jenis sabu dengan berat 0,78 gram bilamana dikonstruksikan kedalam rumusan delik sabu termasuk kedalam jenis narkotika golongan I sehingga memiliki ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun sebagaimana dimaksudkan didalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.

Ketiga, oleh karena ancaman pidananya tidak mencapai 5 tahun atau tidak melebihi dari 5 tahun maka tidak memenuhi syarat objektif dilakukannya penahanan, oleh karena syarat objektif dilakukannya penahanan adalah ancaman pidana haruslah 5 tahun atau melebihi dari 5 tahun. Hal ini ditegaskan didalam Pasal 21 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan kata lainkarena ancaman pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a berada dibawah 5 tahun, maka konsekuensi yuridisnya adalah tidak dapat dilakukannya upaya penahanan.

Keempat, penggunaan Pasal 127 memiliki konsekuensi lainnya yakni wajib menjalani rehabilitasi (vide Pasal 127 ayat (2) jo Pasal 55 UU Narkotika). Jika mencermati ketentuan Pasal 127 ayat (2) sesungguhnya merupakan pedoman terhadap hakim dalam memutus perkara penyalaguna narkotika dengan mengedepankan rehabilitasi, namun kemudian pada tahun 2014 dikeluarkan pedoman teknisnya yakni Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Kedalam Lembaga Rehabilitasi.

Peraturan BNN aquo merupakan pedoman teknis dalam penanganan terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Dengan kata lain, dalam tingkat penyidikan dan pemeriksaan dipengadilan seorang tersangka atau terdakwa yang dijerat dengan Pasal 127 atau yang termasuk dalam kulaifikasi pecandu atau penyalahguna narkotika bisa meminta untuk menjalani masa rehabilitasi. Rehabilitasi yang dimaksud berdasar UU Narkotika ada dua bentuk, yakni rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika (vide Pasal 1 angka 16) sedangkan rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (vide Pasal 1 angka 17).

 

Inkonsistensi Penggunaan Pasal

Dalam implementasinya, pasal-pasal yang sering digunakan untuk menjerat pelaku narkotika adalah Pasal 112, Pasal 114 dan Pasal 127 UU Narkotika.Ketiga pasal tersebut digunakan dengan dakwaan subsidairitas dimana Pasal 114 sebagai dakwaan primairnya, Pasal 112 sebagai dakwaan subsidairnya dan Pasal 127 sebagai dakwaan lebih subsidarinya. Pasal 114 dimaksudkan untuk menjerat orang-orang yang menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I. Sedangkan Pasal 112 dimaksudkan untuk menjerat orang-orang yang memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I dan Pasal 127 dimaksudkan hanya untuk menjerat pengguna narkotika golongan I, II dan III.

Perbedaan dari ketiga pasal tersebut adalah pada ancaman pidananya, dimana Pasal 114 ancaman pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun yang dapat diperberat ditambah sepertiga jika memiliki narkotika lebih dari 5 gram. Sedangkan Pasal 112 ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun yang dapat diperberat hingga seumur hidup atau 20 tahun penjara jika memiliki narkotika hingga melebihi 5 gram. Sedangkan Pasal 127 ancaman pidananya tergantung kepemilikan narkotika jika golongan I adalah paling lama 4 tahun, golongan II paling lama 2 tahun dan golongan III paling lama 1 tahun penjara.

Dalam beberapa kasus misalnya kasus yang dialami oleh pelawak Nunung dan Suaminya pihak kepolisian yang memeriksa perkara tersebut tidak menggunakan pasal tunggal melainkan menggunakan ketiga pasal sebagaimana disebutkan sebelumnya secara subsidaritas, yakni Pasal 114, Pasal 112 dan Pasal 127, padahal saat itu Nunung dan Suami kedapatan memiliki sabu sebesar 0,36 gram. Kasus yang menimpa Ridho Roma juga pasal yang digunakan sama yakni Pasal 112 dan Pasal 127. Dalam beberapa putusan pengadilan Nomor 567 K/Pid.Sus/2020 atas nama terdakwa Zaki Aziz digunakan Pasal 114, Pasal 112 dan Pasal 127 mesikpun dalam putusan kasasi tersebut Mahkamah Agung menganulir putusan Pengadilan Negeri dengan menyatakan Zaki Aziz terbukti berdasarkan Pasal 112 namun dalam tingkat Pengadilan Tinggi putusan tersebut dianulir dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perbuatan Zaki Aziz yang terbukti adalah Pasal 127 yakni sebagai penyalahguna. Dalam putusan nomor 602 K/Pid.Sus/2020 dengan terdakwa Asdar juga digunakan pasal yang sama yakni Pasal 114, Pasal 112 dan Pasal 127 yang dalam akhir putusannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa kasus Azdar memenuhi Pasal 127 UU Narkotika.

Mencermati beberapa kasus tersebut di atas, terlihat konsistensi penegak hukum dalam memeriksa kasus-kasus narkotika dengan menggunakan Pasal 114, Pasal 112 dan Pasal 127 sebagai pasal utama untuk menjerat pelaku tindak pidana narkotika yang ketiganya dirumuskan secara subsidairitas artinya Jaksa Penuntut Umum perlu membuktikan ketiganya, akan tetapi jika dianggap dakwaan primair sudah terbukti maka dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Berbeda dari penegakan hukum narkotika pada umumnya, kasus NA, AB dan ZN ini nampak ketidak konsistenan penegak hukum dalam hal ini pihak Kepolisian dalam menggunakan pasal sangkaannya yang hanya menggunakan pasal tunggal yakni Pasal 127 ayat (1) huruf a, sedangkan pada umumnya dalam kasus-kasus narkotika Kepolisian lebih banyak menggunakan ketiga pasal utama yang dirumuskan secara subsidairitas yakni Pasal 114, Pasal 112 dan Pasal 127 UU Narkotika.

 

Ius Constituendum

Dalam aspek criminal law policy penanggulangan tindak pidana dapat dilakukan dalam 3 tahap, yakni tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi.Tahap formulasi adalah tahap pembuatan peraturan perundang-undangan oleh pembentuk undang-undang Tahap aplikasi adalah tahap penerapan peraturan perundang-undangan pidana oleh aparat penegak hukum. Tahap eksekusi adalah tahap pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh aparat eksekusi. Ketiga tahap tersebut saling melengkapi satu sama lain. Akan tetapi, kedudukan tahap formulasi adalah yang paling sentral sehingga tahap aplikasi dan tahap eksekusi bisa dijalankan.

Kebijakan formulasi UU Narkotika khususnya pada Pasal 112 dan Pasal 127 yang sering digunakan oleh aparat penegak hukum dalam hal penegakan hukum narkotika kita sesungguhnya bukan tanpa alasan. Sejatinya jika mencermati rumusan Pasal 112 dan Pasal 127 saling berkelindan satu sama lain perbedaannya hanya terlihat dari ancaman pidananya saja dimama Pasal 112 ancaman pidananya lebih berat dibanding dengan Pasal 127. Untuk itu dalam penegakannya tidaklah salah jika Pasal 112 masih dimasukkan untuk menjerat pelaku-pelaku tindak pidana narkotika. Meskipun demikian, dalam penggunaannya ternyata Pasal 112 dianggap sebagai pasal karet yang dapat membahayakan kepastian hukum. Dimana hal ini tentu dapat menciderai prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege certa dalam hukum pidana yang artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas.Kosekuensi dari pemaknaan prinsip ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas sehingga tidak bersifat multitafsir yang dapat membahayakan bagi kepastian hukum.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pasal 127 adalah pasal yang ditujukan untuk orang-orang yang dikualifikasikan sebagai penyalahguna, akan tetapi konstruksi dalam Pasal 112 ayat (1) sebenarnya juga bisa digunakan untuk menjerat penyalahguna narkotika. Pasal 112 ayat (1) itu berbunyi “setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah dan paling banyak delapan miliar rupiah”.

Dari konstruksi pasal tersebut di atas dapat diketengahkan bahwa kiranya ada 4 perbuatan yang dilarang yakni tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika. Keempat perbuatan tersebut cukup dibuktikan salah satunya saja apakah itu memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika yang dalam hal ini jika merujuk pada teori kausalitas didalam hukum pidana merujuk pada teori Bricmayer dengan “mist wirksame bedigung”cukup mencari unsur mana yang paling utama untuk menentukan akibatnya. Dengan demikian, jika dikosntruksikan rumusan Pasal 112 dengan Pasal 127 UU Narkotika maka orang yang menyalahgunakan narkotika sejatinya secara langsung juga memenuhi unsur didalam Pasal 112 ayat (1), yakni karena orang yang menyalahgunakan narkotika sudah pasti memiliki narkotika, sudah pasti menyimpan narkotika dan sudah pasti menguasai narkotika dan sudah pasti orang yang menyalahgunakan narkotika dilakukan tanpa hak dan melawan hukum. Olehnya itu sesungguhnya konstruksi Pasal 112 ini bisa berlaku umum yang pembuktiannya juga lebih mudah.

Dalam praktik, sering kali ditemui perbedaan pendapat antara Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Hakim. Dimana JPU berkeyakinan bahwa penyalahguna juga seharusnya memenuhi rumusan delik didalam Pasal 112, dasar pemikiran JPU adalah menitik beratkan pada penafsiran secara letterlijk rumusan delik sedangkan hakim dalam beberapa putusan yang telah disebutkan sebelumnya di atas jika dicermati hakim tidak berperan sebagai corong undang-undang, artinya hakim tidak terbatas pada penafsiran gramatikal sebagaimana yang sering digunakan oleh JPU akan tetapi dalam beberapa putusan kasasi oleh Mahkamah Agung di atas paradigma hakim lebih mengedepankan aspek sosiologisnya dengan mendasarkan pada nilai-nilai keadilan. Meskipun dalam tahap pemeriksaan dalam pengadilan negeri dapat juga dijumpai putusan hakim yang menyakini penyalahguna memenuhi rumusan delik di dalam Pasal 112.

Konstruksi yang demikian juga memiliki konsekuensi yang serius. Disatu sisi mengancam kepastian hukum karena Pasal 112 tidak memberikan kepastian apakah pasal tersebut ditujukan untuk bandar narkotika atau juga terhadap penyalahguna narkotika yang dalam praktiknya aparat penegak hukum sering terjadi multitafsir dalam menggunakan pasalnya untuk menjerat penyalahguna narkotika yang tentunya terjadinya multitafsir ini menciderai prinsip lex certa didalam hukum pidana sebagaimana disebutkan sebelumnya, namun disisi lain keterkaitan antara Pasal 112 dan Pasal 127 ini bisa pula disalah gunakan dalam hal membuka celah terjadinya jual-beli pasal yang akan diterapkan pada orang yang sedang tersandung kasus narkotika. Pasalnya antara Pasal 112 dan Pasal 127 dilihat dari ancaman pidananya sangat jauh perbedaannya dimana ancaman pidana dalam Pasal 112 yang mengedepankan pidana penjara yakni paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun yang dapat diperberat hingga seumur hidup atau 20 tahun penjara sedangkan Pasal 127 ancaman pidananya adalah 4 tahun untuk kepemilikian narkotika golongan I, 2 tahun penjara untuk golongan II dan 1 tahun penjara untuk kepemilikian narkotika golongan III. Disisi lain Pasal 127 lebih mengedepankan upaya rehabilitasi bukan kepenjaraan seperti halnya Pasal 112 dan tidak dapat dilakukan penahanan karena ancaman pidananya kurang dari 5 tahun sehingga tidak terpenuhinya syarat objektif untuk dilakukan penahanan. Perbedaan yang demikian dapat saja disalah gunakan dan membuka celah hukum terjadinya jual-beli penggunaan pasal untuk diterapkan dalam kasus in concreto apakah menggunakan pasal rehabilitasi ataukah menggunakan pasal dengan ancaman pidana yang tinggi.

Untuk itu, dalam pembangunan hukum kedepan (ius constituendum) perlu dilakukan perubahan rumusan delik Pasal 112 dalam hal mempertegas sesungguhnya ditujukan kepada siapa penggunaan pasal tersebut, apakah berlaku hanya terhadap pengedar narkotika, bandar narkotika atau juga termasuk didalamnya penyalahguna narkotika sehingga lebih menjamin kepastian hukum yang berkeadilan, oleh sebab dalam praktik sering kali dijumpai perbedaan penafsiran terhadap penggunaan Pasal 112 yang dianggap sebagai pasal karet. Disisi lain perubahan dimaksud juga untuk menutup celah hukum terjadinya penggunaan pasal berat dan ringan yang bertendensi terjadinya jual-beli pasal. Disisi yang lain, konstruksi Pasal 112 yang dapat membuka peluang untuk memenjarakan penyalahguna narkotika layaknya hukum pidana digunakan sebagai lex talionis atau hukum pidana sebagai balas dendam.

Pemikiran hukum pidana sebagai lex talionis adalah pemikiran yang kontemporer yang tidak sejalan lagi dengan perkembangan hukum pidana modern yang lebih menitik beratkan pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif dan keadilan restoratif. Keadilan korektif adalah berkaitan dengan kesalahan pelaku yang harus dikoreksi.Keadilan rehabilitatif adalah dalam rangka memperbaiki pelaku agar tidak lagi mengulangi perbuatannya di masa mendatang dan keadilan restoratif adalah minitikberatkan pada pemulihan korban kejahatan. Untuk itu penggunaan sanksi tindakan berupa rehabilitasi sesungguhnya adalah pengejawantahan dari karakteristik hukum pidana modern.Wallauhu a’lam bishawab.

Upaya Pembaharuan Hukum Narkotika
Comments (0)
Add Comment