DINAMIKA SULTRA.COM, SENTANI – Kemitraan Partnership for Governance Reform melalui program Estungkara mengatakan sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI bertujuan untuk merumuskan strategi pembangunan desa berdasarkan hak asal-usul masyarakat adat.
Project Manager Kemitraan melalui program Estungkara Yasir Sani di Sentani, Selasa, mengatakan, desa merupakan institusi sosial sekaligus institusi negara yang paling dekat dengan masyarakat adat.
“Karena Undang-Undang Desa secara terang menjelaskan bahwa integrasi institusi sosial masyarakat adat dan negara yang bersifat otonom,” katanya saat menjadi narasumber dalam sarasehan KMAN VI di Kampung Yakonde, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa.
Dengan demikian kata dia, sebagai institusi formal terdepan desa mempunyai peran strategis dalam pelaksanaan pembangunan, layanan-layanan dasar, sekaligus membuka ruang partisipasi kelompok dan inklusi sosial terutama dalam hal pemenuhan hak
Masyarakat adat.
Selain itu desa adat menjadi penting sebagai suatu kesatuan wilayah yang memiliki kewenangan penuh berdasarkan hak-hak asal usul berupa hak mengurus wilayah (hak ulayat) dan mengurus kehidupan masyarakat hukum adat nya.
“Sehingga untuk mewujudkan desa adat perlu keterlibatan masyarakat sebagai unsur individu desa dan musyawarah desa,” ujarnya.
Menurut Yasir, jika mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan adanya kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul yang meliputi hak-hak asli masa lalu yang telah ada sebelum lahirnya negara dan tetap dibawa serta dijalankan oleh desa.
“Serta hak-hak asli yang muncul dari prakarsa desa yang bersangkutan maupun prakarsa masyarakat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” katanya lagi.
Dia menjelaskan perlindungan terhadap hak asal-usul masyarakat adat meliputi hak atas tanah dan sumber daya alam, hak atas kebudayaan, hak berpartisipasi dalam politik, serta hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai hal-hal yang mempengaruhi masyarakat, tradisi dan
cara hidupnya (FPIC-Free, Prior and Informed Consent).
“Sehingga pendekatan pembangunan desa yang selama ini dijalankan perlu untuk lebih menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama sebagai pijakan dalam strategi pembangunan desa,” ujarnya lagi.
Dia menambahkan desa di wilayah adat harus mampu mengurus dirinya sendiri sesuai aturan yang berlaku serta mampu mengembangkan potensi yang dimiliki untuk keberlanjutan kehidupan sosial-ekonomi dan menciptakan kemandirian dengan memposisikan hak asal-usul.
“Hal ini juga merupakan turunan dari UU Desa yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2017,” katanya lagi.
Sementara itu salah satu narasumber sarasehan KMAN VI di Kampung Yakonde Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Pedesaan pada Kementerian Desa (Kemendes) RI Sugito Jaya Santika menjelaskan status desa sipil dan desa adat menyebutkan bahwa penggunaan status tersebut di kembalikan kepada masyarakat setempat apakah ingin menggunakan desa dinas atau desa adat.
Dia mengungkapkan dari kementerian tidak bisa mengintervensi sampai ke desa-desa tentang penggunaan status tetapi hanya bisa mengeluarkan regulasi atau ketentuan yang dalam redaksi regulasi itu mengatakan penyebutannya dapat disesuaikan dengan karakter masing-masing daerah.
“Artinya setiap daerah lewat kepala daerah baik gubernur, bupati, walikota bisa mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup), dan beberapa regulasi daerah lainnya yang substansi nya mengatur tentang penetapan status desa apakah desa dinas atau desa adat,” katanya.
Kemitraan melalui program Estungkara menjadi salah satu mitra untuk Program inklusi (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) yang menekankan pada pemberdayaan, kesetaraan, kesamaan dan akses.(ds/antara)